Minggu, 13 April 2014

Pair of happiness






                   Tak ada yang berubah. Wanita ini, tetap wanita yang sama seperti lima tahun lalu. Tempat ini juga. Di sana, di meja dekat jendela kaca yang menyajikan pemandangan pantai indah itu Fay sering menghabiskan jam makan siangnya, berlama-lama menikmati birunya laut dan langit. Terkadang ia lupa kalau harus kembali bekerja, hasilnya dia diomeli atasan.
            Dan saat itu, ah entah kapan ‘saat itu’ ia sudah lupa. Pria itu hadir, menggeser indahnya warna biru laut, indahnya pasir pantai dan nikmatnya menu makan siangnya. Saat ia menyadari ada yang memperhatikan gerak-geriknya, Fay mencarinya. Pria itu mengangkat gelas orange juice yang sudah tandas setengahnya. Fay pun reflek mengangkat gelas berisi air mineral miliknya dan membalas senyum pria itu.
            Jarak mereka pangkas. Sedikit demi sedikit, hingga kini mereka berhadapan. Di meja favorit Fay. Nama, dimana mereka bekerja dan kenapa mereka lebih sering makan di tempat ini. dari pertemuan rutin saat jam makan siang, mereka mulai membuat suatu janji, janji untuk kembali bertemu saat makan malam. Fay mengenakan baju terindahnya, entahlah ia juga tidak mengerti dengan dirinya. Abi, pria ini tidak bisa lepas dari perhatiannya. Undangan makan malam, disambutnya dengan senang hati. Karena itu berarti mereka akan bertemu lagi.
            Malam itu di Pirates Bay. Segala sesuatunya tampak memukau, Abi dengan setelan jas warna hitamnya. Makanan-makanan yang di sajikan; Grilled squid yang ternyata jadi favorit mereka berdua. Malam itu juga, untuk pertama kalinya Fay dilamar seorang pria. Malam itu juga, Fay menerima lamaran dari seorang pria yang baru ia kenal satu minggu. Cinta pada pandangan pertama? Mungkin. Takdir? Bisa jadi. Fay menginginkan pertemuan selanjutnya dan selanjutnya. Dengan menerima lamaran itu, bukankah mereka akan bertemu setiap hari? Di meja makan di rumah mereka kelak? Di ruang keluarga saat menonton film kesukaan mereka? Di tempat tidur saat keduanya lelap hingga pagi? Jadi, tidak ada alasan untuk menolaknya bukan?
            “Kita menikah di sini, ya?” ujar Abi, tanpa melepaskan genggaman tangannya.
“.......” Menikah. Tunggu. Bagaimana Fay mengabari orangtuanya? Apa yang harus dikatakannya? Sementara, Fay sebenarnya sudah setuju akan menikah dengan pria yang sudah dipilih ayah-ibunya. Mana mungkin dia membatalkannya begitu saja, “Bi, aku..”
“Fay? Apa ada sesuatu? Coba katakan, aku mau tau semua hal yang jadi pikiranmu? Aku mau tau semua hal tentang kamu, Fay.” Wanita mana yang tidak luluh dengan tatapan sepasang mata itu. tembok pembatas itu dirobohkan Fay sendiri, ia ceritakan seluruhnya pada Abi. Mulai dari alasan keberadaannya di Bali, masalah pertunangan dan pernikahan yang tidak ia inginkan. Abi mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil sesekali ia remas tangan Fay seakan menguatkan wanita itu.
            “Kalau aku memilihmu, aku mungkin akan kehilangan tempatku di rumah.” Bisik Fay. Dia menelan ludah sambil mengalihkan pandangannya ke lautan yang telah gelap, di langit bintang bertaburan mengingatkan kebesaranNya menebar keindahan di kegelapan malam. Suara deburan ombak dan musik akustik yang samar mengiringi cerita Fay. “Tapi, kalau aku tidak memilihmu. Aku akan kehilangan kebahagiaanku. Aku akan... menyesal.. itu pasti.”
            “Fay, aku tidak sesempurna yang kau bayangkan. Aku sudah menceritakan hampir semua cerita kehidupanku. Termasuk masalahku dengan dia. Saat kamu tetap mau ada di sini dan memilihku. Aku, pasti tak akan pernah membuatmu sempat bersedih.” Ucapnya dengan nada halus. Abi sudah berjongkok di samping Fay, menggenggam erat tangannya, “kita bisa mulai semuanya dari awal. Menikahlah, denganku.”
            Anggukan yakin dari Fay segera membuat hati keduanya buncah oleh bahagia yang memabukkan. Akhirnya, Fay merasa bisa lepas dari beban tak terlihat yang selama ini menggunung di pundaknya. Ini harusnya keputusan paling tepat untuk mereka berdua. Kebahagiaan akan mereka ciptakan berdua.
***
            Pernikahan itu, bukan seperti impian Fay selama ini. Bukan pernikahan yang dihadiri ratusan undangan yang ikut bahagia dan mendoakan kebahagiaan pasangan pengantinnya, bahkan tidak ada sepuluh orang yang hadir. Tak ada orangtuanya, tak ada sahabat-sahabatnya. Tapi, yang cukup membuatnya terhibur adalah di tepi pantai inilah mereka mengikat janji untuk bahagia selamanya. Dengan Abi. Karena di tempat ini mereka pertama kali saling berpandangan, mengangkat gelas dan kemudian mereka memangkas jarak menjadi dekat dan akhirnya saling berjanji untuk berbahagia bersama.
            Pernahkah kalian mendengar jika kebahagiaan tak pernah abadi? Fay pernah mendengarnya dan percaya pada akan hal itu. Seperti malam ini. Telepon dari seorang wanita yang mengaku bernama Dilla, Istri Abi. Wanita itu bertanya apa Abi ada? Bisakah menyampaikan pada Abi kalau Chacha mencari Papanya. Fay tentu menjelaskan statusnya saat ini. dan, ia baru tahu kalau Abi dan Dilla belum berpisah secara resmi. Itu membuatnya marah besar.
            Abi menjelaskan dan menjelaskan pada Fay. Ia bilang kalau masalahnya dan Dilla sangat complicated. Abi pun berjanji, akan menyelesaikan segala masalah yang tersisa antara dia dan Dilla. Malam itu, Abi meminta izin untuk pulang ke surabaya. Dengan setengah hati dan bercampur marah, Fay mengangguk, mengiyakan permintaan itu. meskipun ada kemungkinan pria itu takkan pernah kembali kemari.
            Dan ketakutan Fay terjadi. Hari dan hari terus berganti tak pernah bisa membohongi segala perasaan yang menjadi sumber ketakutan Fay. Abi tak pernah muncul dalam hidupnya, meskipun itu hanya berbentuk teks pendek atau suara. Dan Fay, semakin terbiasa dengan perasaan hampa yang menganga dalam hatinya. Hari sudah berganti, bulan pun demikian. Tidak hanya sekali atau dua kali ia berusaha menghubungi Abi. Tapi tidak membuahkan hasil. Sampai, suatu hari sang sahabat yang sudah jadi teman berbagi ceritanya berkata, kalau Fay tidak perlu terlalu terfokus pada kehilangan, cobalah melihat kebahagiaan apa yang bisa kau dapat saat kau merasa kehilangan, terpuruk, terluka atau merasa sakit yang teramat. Itu sebenarnya kebahagiaan. Karena tak ada bahagia yang abadi.
            Dengan bekal nasihat itu, sampai saat ini Fay masih bisa tersenyum lebar berusaha mengabaikan hatinya yang sudah layu karena ditinggal Abi. Pekerjaan menjadi salah satu tempat larinya, sampai larut malam ia masih berkutat dengan file ini dan file itu.
            Seperti malam ini. ia duduk dengan wajah serius memandang layar monitor notebook-nya. Sesekali mendongak kearah laut yang diselimuti kegelapan dan hanya debur ombak yang  terdengar berirama baginya.
            Seharusnya, Fay menghindari datang ke tempat ini. tempat kali pertama ia dan Abi bertemu. tapi coba lihat, ia masih tetap datang. Apa yang ia harapkan? Abi akan berjalan kearahnya dan tersenyum, kemudian duduk di sampingnya untuk membicarakan laut yang ia lihat bersama beberapa saat yang lalu? Tidak. Itu hanya impian kosong Fay.
            “Tante Fay.” Seru sebuah suara, seorang anak kecil. Fay mencari-cari si anak kecil yang memanggil namanya. Siapa? Anak kenalannya? gadis yang mungkin berumur tujuh tahun lebih berlari riang kearahnya. Tentu Fay bingung, karena tidak pernah dia melihat anak ini. apalagi tanpa permisi anak kecil berkepang dua ini memeluknya, seakan memeluk seseorang yang sudah akrab dengannya, “Akhirnya bisa ketemu. Bener kata Papa, Tante pasti ada di sini.”
            “Papa?” Fay jelas kebingungan, meski ia tetap membalas pelukan gadis kecil itu. kemudian saat gadis itu melepas pelukannya, ia bisa melihat wajahnya lebih jelas. Dia punya mata yang sama seperti Abi. Senyumnya, alisnya, hidungnya.
“Chacha?” gumam Fay ragu. Mana mungkin, kenapa anak ini bisa tau tentangnya dan siapa yang membawanya ke tempat ini.
“Ah, tante tau aku? Papa pernah cerita soal aku?” tanyanya masih dengan senyum Abi.
“Papa?”
“Papaku, Papa Abi. Dia masih...”
“Chacha, jangan lari nanti kalau jatuh, kamu bisa...” seorang pria berjalan cepat sambil menenteng tas berwarna pink bergambar barbie. Pria itu berkacamata, pasti bukan Abi. Tapi itu Abi. Abinya Fay.
Tanpa bersuara, Abi mendekat ke meja tempat Fay dan Chacha berada. kemudian dia meletakkan tas milik Chacha di meja sebelum ia duduk di depan Fay.
“Lama tidak melihat kerutan ini,” ia tersenyum saat menyentuh lipatan diantara alis Fay.     
            “Aku pikir kamu nggak akan kembali.” Kata Fay setengah berbisik. “seharusnya, kamu nggak perlu kembali.”
            “Iya, seharusnya. Tapi, Chacha ingin bertemu denganmu. Aku juga. Aku.. rindu..” ia menatap lurus wanita di depannya yang sudah meneteskan airmata. “Aku nggak pantes bilang rindu sebenarnya, setelah aku pergi..”
“Mana istrimu?” tanya Fay seraya menghapus air mata di pipinya. Ia berusaha mencari sosok wanita di dekat mereka, “nggak ikut?”
“Dilla di Jakarta ikut suaminya.” Jawab Abi singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Fay. “Kamu sepertinya kelelahan.”
“Kamu pindah Jakarta? Nggak di Surabaya lagi?” tanya Fay lagi tanpa menggubris ucapan Abi barusan.
“Aku tetap di Surabaya sama Chacha,” jawab Abi lagi.
“Maksudnya?”
“Dilla sudah menikah lagi. Kami sudah resmi berpisah, hak asuh Chacha ada padaku sekarang. Maaf, aku tidak pernah bilang ke kamu. Aku takut, kamu nggak bisa menerima Chacha. Makanya aku tetap berada di Surabaya, sampai aku siap ketemu kamu.” jelas Abi.
“Ta-tapi, kamu nggak bisa dihubungi dan kamu juga nggak pernah menghubungiku. Aku pikir kita sudah berakhir. karena kamu dan Dilla kembali bersama. Lima tahun bukan waktu yang sebentar, Bi. Aku hampir mati di sini nunggu kamu.” suara Fay sedikit naik, tapi ia berusaha mengontrol emosinya karena tau di sini ada Chacha yang nggak seharusnya mendengar pertengkaran mereka.
            “Aku tau. Aku juga hampir mati karena menahan diri untuk tidak terbang kemari. Tapi Chacha butuh perhatianku, Fay. Dia.. hidupku..” jelas pria itu.
“Aku?”
“Kamu? Kamu separuh jiwaku. Gombal, ya? Fay, ikut denganku. Kita tinggal di surabaya. Aku ingin kita tinggal bersama lagi. Chacha juga sangat merindukanmu. Dia ingin jalan-jalan denganmu, dia bilang ingin belajar bikin cake darimu.” Pinta Abi sambil menggenggam tangan Fay. Tanpa mereka duga, dua tangan mungil Chacha juga ikut menggenggam tangan Fay dan Abi. Gadis kecil berumur tujuh tahun itu tersenyum ceria.
“Nanti Chacha panggil tante ‘bunda’ aja, ya.” Bisik Fay sambil tersenyum jahil pada Chacha. Dan anak kecil itu pun bersorak bahagia.
Kebahagiaan memang bukan hal yang abadi. Tapi, itu bukan berarti kita menutup kesempatan pada bahagia untuk masuk dalam kehidupan kita bukan? Meski sebelumnya ada luka, benci, dusta dan rasa sakit. Fay akan menerima kebahagiaan-kebahagiaan yang diberikan padanya. Salah satunya melalui kembalinya Abi dan putri kecilnya ini. 


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!



0 komentar :

Posting Komentar