Sabtu, 24 November 2012

Mencoba Menulis Novel ~Dreams of Tomorrow~ Part 4

Wolla~~~

Para Jombloers... Kita senasib...fufufufufufu....
Ah, ini kan cuma urusan waktu. entar pasti datang sang pangeran berkuda putih.

Lho, Nechan mampir malem ini kan bukan mau curcol masalah kehidupan asmara.
Nechan mau nge-release Part 4 Dreams of Tomorrow.

YEEYEEEEYYYYYYYY

Siapa coba yang heboh sendiri??

Ah, ada yang baca atau enggak, Nechan mau posting nih lanjutan Novel yang udah berabad-abad baru di update malem ini. Sebenernya ini permintaan dari Agen Yhiyhin. Semoga berkenan di hati. untuk kritik dan saran silahkan ketik REG spasi BISA AJA ke alamat di bawah ini.  Maap ya kalau nggak sesuai bayangan.. So enjoy it....


****

Ah, sialan. Kalau aja nih manusia satu ini, perempuan. Rasanya pasti nggak seburuk dan menyebalkan sekarang. Lagian apa-apaan dia? Sok pinter, dasar cupu, apa tuh yang dia baca?? Ehh, apaan tuh?? Keajaiban Trigonometri?? Makanan apa tuh?? Pantesan jadi murid kesayangannya si Rahwana. Tipe anak baik, sih. Emang sekarang masih jaman anak cowok SMA baca buku kayak gitu?? Anak jaman sekarang tuh, kalau nggak tawuran ya nge-band. Kayak gue. Biar cool, keren. Lagian, ngapain sih dia mau repot-repot ngurusin gue? Pasti dia nggak tau siapa gue....

“Kalau mau hukuman kamu cepat selesai. Lihat ke LKS. Bukannya ngelirik-ngelirik ke saya. Dan mungkin saya harus kasih tau kamu dulu. Saya tidak ada minat pada laki-laki.” Cetus Radu tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya.

Fai hanya membuat gerakan kecil seakan mau melempar pulpen yang ada di tangannya kearah Radu. “Lo nggak tau siapa gue, ya? Anak mana lo?”

“Tentu saja saya tau siapa kamu. bukankah seluruh penghuni sekolah ini sudah hapal denganmu.” Jawabnya sambil menutup buku yang dari tadi dia tekuni.

“terus ngapain lo cari masalah sama gue??” Fai sedikit merasa bangga dengan ucapan Radu, meskipun dia tau namanya jadi terkenal karena apa. Bukan prestasi yang pasti.
“Saya tidak cari masalah. Saya hanya merasa kamu orang yang menarik, dan saya berpikir kamu bisa membantu saya.” Ucapnya dengan wajah serius. Tapi Fai bisa melihat ekspresi aneh di sana. Seperti ekspresi Ayahnya dulu. Dulu sekali, Fai pernah melihatnya.
“Tadi, elo bilang kalau nggak tertarik sama cowok. Tapi sekarang gue yang mau bilang itu. Gue nggak tertarik sama cowok, apalagi elo. Mundur sedikit.” Tegur Fai sambil mendorong dahi Radu yang berjarak duapuluh sentimeter dari dahinya.
“Ah, maaf. Saya terlalu bersemangat.” Radu memperbaiki duduknya, dia kini terlihat gugup. Berbeda sekali dengan sosok yang dia tunjukkan pada Fai beberapa saat yang lalu.
“Bantu apa?” tanya Fai,
“Ya?”
“Lo tadi bilang kalau gue bisa bantuin elo, kan? Maksud lo apa?”
“Tadi saya bilang begitu? Jangan dipikirkan, bukan apa-apa, kok.” Kilah Radu dengan ekspresi yang masih sama, tapi beberapa detik kemudian ekspresinya berubah lagi. Anak laki-laki dengan ekspresi seperti bongkahan es. “Kenapa masih ngelihatin saya? Cepat kerjakan hukuman kamu. kamu pikir saya tidak punya kegiatan lain apa?”
“Iya. Iya.”


“Yoo~~ Fai Kalevi~” sambut Ivan dengan gayanya yang sok mirip anak hip hop. Yang disapa cuma mengrenyitkan dahi. “Kayaknya lo jadi keliatan kayak anak cupu, Fai. Padahal baru sehari lo dapet hukuman ngerjain LKS.”
“Ngomong lagi, gue gaplok pakai LKS lo.” Ancam Fai dengan wajah manyun.
“Kenapa lo, Fai?” tanya Raka yang memegang gitar dan sedikit memainkannya.
“Kayaknya hukuman ini gak selesai sampai ngerjain LKS, deh. Si Rahwana bilang kalau gue harus piket di Perpustakaan.” Ujarnya dengan tampang lesu.
“Ha?! Perpustakaan?! Lo mau jadi sejenis kutu buku, Fai?” tanya Ivan, tawanya yang membahana benar-benar mengganggu pendengaran.
“Eh, elo. Cerewet ya, beneran gue sumpel sama LKS tau rasa lo.” Fai sudah menggulung LKS di tangannya,
“Emang si Rahwana nggak ngasih lo pilihan, Fai?” tanya Eza, berusaha mengalihkan perhatian Fai dari si sarap Ivan.
“Ngasih. Pilihan satunya di ruang BP.” Jawabnya sebelum kemudian menghela nafas panjang. Yang lain pun langsung menunjukkan ringisan bercampur kasihan, termasuk Ivan.
“dengan kata lain lo disuruh milih masuk kandang singa atau kandang monyet, ya?” ujar Eza dengan suara penuh prihatin.
“jadi Fai milih kandang Monyet? Pasti karena dia merasa sebangsa sama monyet, ya?” ah, si Ivan. Mulutnya perlu dipasangi filter, deh kayaknya.
“Ellooo......” Fai bergerak kearah Ivan yang sedikit beruntung duduk di tempat yang terjauh dari Fai, kalau enggak udah jadi rempeyek dia.
“Ampun. Ampun. Ampun.” Seru Ivan sambil berlindung di belakang Raka. Yang dijadikan benteng hanya menghela nafas sambil geleng kepala.
“Elo yang monyet. Dasar mulut ember. Mulut comberan. Monyet.” Rutuk Fai sambil berusaha meraih baju Ivan.

“Ada apa ini?!” mereka langsung membeku di tempat. “Fai?? Kamu sudah pulang? Kurang hukuman dari Pak Herman? Mau Mami tambahin lagi?” 
“Eh, Ada cewek cantik di sini. Jangan marah, dong. Ntar cantiknya ilang, lho.” Fai sudah ada di samping wanita dengan rok renda batik, tinggi wanita itu hanya sepundak Fai, padahal dia memakai Highheels.
“Jangan muji-muji. Mami tadi dapat telpon dari Pak Herman. Sebenernya mau kamu itu apa, Fai?”
“Fai sih maunya Mami nggak usah ikut-ikutan Rahwana ngamuk, dan nggak usah ikutan ngasih hukuman.” Jawab Fai dengan suara yang dibuat semanis mungkin.
“itu tergantung. Kalau kamu menjalankan hukuman dari Pak Herman dengan baik. Mami nggak akan ikut-ikutan.” Wanita itu berusaha terlihat sedang marah.
“O-oke, deh. Fai janji bakalan menjalankan hukuman dari Rahwana dengan baik. Sebaik mungkin.” Fai memeluk pundak Maminya dengan lembut. Memamerkan senyum polosnya ke Maminya.
“Ya, sudah. Kalian sudah makan malam belum?” tanya Mami Fai pada ke empat anak lelaki yang sering membuat kepalanya pusing.
“Belooommm” teriak mereka kompak.

1 komentar :

Yiyin Andriana mengatakan...

eaaaa...terusin donk terusinn..

Posting Komentar