Para Jombloers... Kita senasib...fufufufufufu....
Ah, ini kan cuma urusan waktu. entar pasti datang sang pangeran berkuda putih.
Lho, Nechan mampir malem ini kan bukan mau curcol masalah kehidupan asmara.
Nechan mau nge-release Part 4 Dreams of Tomorrow.
YEEYEEEEYYYYYYYY
Siapa coba yang heboh sendiri??
Ah, ada yang baca atau enggak, Nechan mau posting nih lanjutan Novel yang udah berabad-abad baru di update malem ini. Sebenernya ini permintaan dari Agen Yhiyhin. Semoga berkenan di hati. untuk kritik dan saran silahkan ketik REG spasi BISA AJA ke alamat di bawah ini. Maap ya kalau nggak sesuai bayangan.. So enjoy it....
****
Ah, sialan. Kalau aja nih manusia satu ini,
perempuan. Rasanya pasti nggak seburuk dan menyebalkan sekarang. Lagian
apa-apaan dia? Sok pinter, dasar cupu, apa tuh yang dia baca?? Ehh, apaan tuh??
Keajaiban Trigonometri?? Makanan apa tuh?? Pantesan jadi murid kesayangannya si
Rahwana. Tipe anak baik, sih. Emang sekarang masih jaman anak cowok SMA baca
buku kayak gitu?? Anak jaman sekarang tuh, kalau nggak tawuran ya nge-band. Kayak
gue. Biar cool, keren. Lagian, ngapain sih dia mau repot-repot ngurusin gue?
Pasti dia nggak tau siapa gue....
“Kalau mau hukuman kamu cepat selesai. Lihat ke
LKS. Bukannya ngelirik-ngelirik ke saya. Dan mungkin saya harus kasih tau kamu
dulu. Saya tidak ada minat pada laki-laki.” Cetus Radu tiba-tiba tanpa mengalihkan
pandangannya.
Fai hanya membuat gerakan kecil seakan mau
melempar pulpen yang ada di tangannya kearah Radu. “Lo nggak tau siapa gue, ya?
Anak mana lo?”
“Tentu saja saya tau siapa kamu. bukankah seluruh
penghuni sekolah ini sudah hapal denganmu.” Jawabnya sambil menutup buku yang
dari tadi dia tekuni.
“terus ngapain lo cari masalah sama gue??” Fai
sedikit merasa bangga dengan ucapan Radu, meskipun dia tau namanya jadi
terkenal karena apa. Bukan prestasi yang pasti.
“Saya tidak cari masalah. Saya hanya merasa kamu
orang yang menarik, dan saya berpikir kamu bisa membantu saya.” Ucapnya dengan
wajah serius. Tapi Fai bisa melihat ekspresi aneh di sana. Seperti ekspresi
Ayahnya dulu. Dulu sekali, Fai pernah melihatnya.
“Tadi, elo bilang kalau nggak tertarik sama cowok.
Tapi sekarang gue yang mau bilang itu. Gue nggak tertarik sama cowok, apalagi
elo. Mundur sedikit.” Tegur Fai sambil mendorong dahi Radu yang berjarak
duapuluh sentimeter dari dahinya.
“Ah, maaf. Saya terlalu bersemangat.” Radu
memperbaiki duduknya, dia kini terlihat gugup. Berbeda sekali dengan sosok yang
dia tunjukkan pada Fai beberapa saat yang lalu.
“Bantu apa?” tanya Fai,
“Ya?”
“Lo tadi bilang kalau gue bisa bantuin elo, kan?
Maksud lo apa?”
“Tadi saya bilang begitu? Jangan dipikirkan, bukan
apa-apa, kok.” Kilah Radu dengan ekspresi yang masih sama, tapi beberapa detik
kemudian ekspresinya berubah lagi. Anak laki-laki dengan ekspresi seperti
bongkahan es. “Kenapa masih ngelihatin saya? Cepat kerjakan hukuman kamu. kamu
pikir saya tidak punya kegiatan lain apa?”
“Iya. Iya.”
“Yoo~~ Fai Kalevi~” sambut Ivan dengan gayanya
yang sok mirip anak hip hop. Yang disapa cuma mengrenyitkan dahi. “Kayaknya lo
jadi keliatan kayak anak cupu, Fai. Padahal baru sehari lo dapet hukuman
ngerjain LKS.”
“Ngomong lagi, gue gaplok pakai LKS lo.” Ancam Fai
dengan wajah manyun.
“Kenapa lo, Fai?” tanya Raka yang memegang gitar dan
sedikit memainkannya.
“Kayaknya hukuman ini gak selesai sampai ngerjain
LKS, deh. Si Rahwana bilang kalau gue harus piket di Perpustakaan.” Ujarnya
dengan tampang lesu.
“Ha?! Perpustakaan?! Lo mau jadi sejenis kutu
buku, Fai?” tanya Ivan, tawanya yang membahana benar-benar mengganggu
pendengaran.
“Eh, elo. Cerewet ya, beneran gue sumpel sama LKS
tau rasa lo.” Fai sudah menggulung LKS di tangannya,
“Emang si Rahwana nggak ngasih lo pilihan, Fai?”
tanya Eza, berusaha mengalihkan perhatian Fai dari si sarap Ivan.
“Ngasih. Pilihan satunya di ruang BP.” Jawabnya
sebelum kemudian menghela nafas panjang. Yang lain pun langsung menunjukkan
ringisan bercampur kasihan, termasuk Ivan.
“dengan kata lain lo disuruh milih masuk kandang
singa atau kandang monyet, ya?” ujar Eza dengan suara penuh prihatin.
“jadi Fai milih kandang Monyet? Pasti karena dia
merasa sebangsa sama monyet, ya?” ah, si Ivan. Mulutnya perlu dipasangi filter,
deh kayaknya.
“Ellooo......” Fai bergerak kearah Ivan yang
sedikit beruntung duduk di tempat yang terjauh dari Fai, kalau enggak udah jadi
rempeyek dia.
“Ampun. Ampun. Ampun.” Seru Ivan sambil berlindung
di belakang Raka. Yang dijadikan benteng hanya menghela nafas sambil geleng
kepala.
“Elo yang monyet. Dasar mulut ember. Mulut
comberan. Monyet.” Rutuk Fai sambil berusaha meraih baju Ivan.
“Ada apa ini?!” mereka langsung
membeku di tempat. “Fai?? Kamu sudah pulang? Kurang hukuman dari Pak Herman?
Mau Mami tambahin lagi?”
“Eh, Ada cewek cantik di sini. Jangan marah, dong.
Ntar cantiknya ilang, lho.” Fai sudah ada di samping wanita dengan rok renda
batik, tinggi wanita itu hanya sepundak Fai, padahal dia memakai Highheels.
“Jangan muji-muji. Mami tadi dapat telpon dari Pak
Herman. Sebenernya mau kamu itu apa, Fai?”
“Fai sih maunya Mami nggak usah ikut-ikutan
Rahwana ngamuk, dan nggak usah ikutan ngasih hukuman.” Jawab Fai dengan suara
yang dibuat semanis mungkin.
“itu tergantung. Kalau kamu menjalankan hukuman
dari Pak Herman dengan baik. Mami nggak akan ikut-ikutan.” Wanita itu berusaha
terlihat sedang marah.
“O-oke, deh. Fai janji bakalan menjalankan hukuman
dari Rahwana dengan baik. Sebaik mungkin.” Fai memeluk pundak Maminya dengan
lembut. Memamerkan senyum polosnya ke Maminya.
“Ya, sudah. Kalian sudah makan malam belum?” tanya
Mami Fai pada ke empat anak lelaki yang sering membuat kepalanya pusing.
“Belooommm” teriak mereka kompak.