Tak ada yang berubah. Wanita ini,
tetap wanita yang sama seperti lima tahun lalu. Tempat ini juga. Di sana, di
meja dekat jendela kaca yang menyajikan pemandangan pantai indah itu Fay sering
menghabiskan jam makan siangnya, berlama-lama menikmati birunya laut dan
langit. Terkadang ia lupa kalau harus kembali bekerja, hasilnya dia diomeli
atasan.
Dan
saat itu, ah entah kapan ‘saat itu’ ia sudah lupa. Pria itu hadir, menggeser
indahnya warna biru laut, indahnya pasir pantai dan nikmatnya menu makan
siangnya. Saat ia menyadari ada yang memperhatikan gerak-geriknya, Fay
mencarinya. Pria itu mengangkat gelas orange
juice yang sudah tandas setengahnya. Fay pun reflek mengangkat gelas berisi
air mineral miliknya dan membalas senyum pria itu.
Jarak
mereka pangkas. Sedikit demi sedikit, hingga kini mereka berhadapan. Di meja
favorit Fay. Nama, dimana mereka bekerja dan kenapa mereka lebih sering makan
di tempat ini. dari pertemuan rutin saat jam makan siang, mereka mulai membuat
suatu janji, janji untuk kembali bertemu saat makan malam. Fay mengenakan baju
terindahnya, entahlah ia juga tidak mengerti dengan dirinya. Abi, pria ini tidak
bisa lepas dari perhatiannya. Undangan makan malam, disambutnya dengan senang
hati. Karena itu berarti mereka akan bertemu lagi.
Malam
itu di Pirates Bay. Segala sesuatunya
tampak memukau, Abi dengan setelan jas warna hitamnya. Makanan-makanan yang di
sajikan; Grilled squid yang ternyata jadi favorit mereka berdua. Malam itu
juga, untuk pertama kalinya Fay dilamar seorang pria. Malam itu juga, Fay
menerima lamaran dari seorang pria yang baru ia kenal satu minggu. Cinta pada
pandangan pertama? Mungkin. Takdir? Bisa jadi. Fay menginginkan pertemuan
selanjutnya dan selanjutnya. Dengan menerima lamaran itu, bukankah mereka akan
bertemu setiap hari? Di meja makan di rumah mereka kelak? Di ruang keluarga
saat menonton film kesukaan mereka? Di tempat tidur saat keduanya lelap hingga
pagi? Jadi, tidak ada alasan untuk menolaknya bukan?
“Kita
menikah di sini, ya?” ujar Abi, tanpa melepaskan genggaman tangannya.
“.......” Menikah. Tunggu.
Bagaimana Fay mengabari orangtuanya? Apa yang harus dikatakannya? Sementara,
Fay sebenarnya sudah setuju akan menikah dengan pria yang sudah dipilih
ayah-ibunya. Mana mungkin dia membatalkannya begitu saja, “Bi, aku..”
“Fay? Apa ada sesuatu? Coba
katakan, aku mau tau semua hal yang jadi pikiranmu? Aku mau tau semua hal
tentang kamu, Fay.” Wanita mana yang tidak luluh dengan tatapan sepasang mata
itu. tembok pembatas itu dirobohkan Fay sendiri, ia ceritakan seluruhnya pada
Abi. Mulai dari alasan keberadaannya di Bali, masalah pertunangan dan
pernikahan yang tidak ia inginkan. Abi mendengarkan dengan penuh perhatian,
sambil sesekali ia remas tangan Fay seakan menguatkan wanita itu.
“Kalau
aku memilihmu, aku mungkin akan kehilangan tempatku di rumah.” Bisik Fay. Dia
menelan ludah sambil mengalihkan pandangannya ke lautan yang telah gelap, di
langit bintang bertaburan mengingatkan kebesaranNya menebar keindahan di
kegelapan malam. Suara deburan ombak dan musik akustik yang samar mengiringi
cerita Fay. “Tapi, kalau aku tidak memilihmu. Aku akan kehilangan
kebahagiaanku. Aku akan... menyesal.. itu pasti.”
“Fay,
aku tidak sesempurna yang kau bayangkan. Aku sudah menceritakan hampir semua
cerita kehidupanku. Termasuk masalahku dengan dia. Saat kamu tetap mau ada di
sini dan memilihku. Aku, pasti tak akan pernah membuatmu sempat bersedih.”
Ucapnya dengan nada halus. Abi sudah berjongkok di samping Fay, menggenggam
erat tangannya, “kita bisa mulai semuanya dari awal. Menikahlah, denganku.”
Anggukan
yakin dari Fay segera membuat hati keduanya buncah oleh bahagia yang
memabukkan. Akhirnya, Fay merasa bisa lepas dari beban tak terlihat yang selama
ini menggunung di pundaknya. Ini harusnya keputusan paling tepat untuk mereka
berdua. Kebahagiaan akan mereka ciptakan berdua.
***
Pernikahan
itu, bukan seperti impian Fay selama ini. Bukan pernikahan yang dihadiri
ratusan undangan yang ikut bahagia dan mendoakan kebahagiaan pasangan
pengantinnya, bahkan tidak ada sepuluh orang yang hadir. Tak ada orangtuanya,
tak ada sahabat-sahabatnya. Tapi, yang cukup membuatnya terhibur adalah di tepi
pantai inilah mereka mengikat janji untuk bahagia selamanya. Dengan Abi. Karena
di tempat ini mereka pertama kali saling berpandangan, mengangkat gelas dan
kemudian mereka memangkas jarak menjadi dekat dan akhirnya saling berjanji
untuk berbahagia bersama.
Pernahkah
kalian mendengar jika kebahagiaan tak pernah abadi? Fay pernah mendengarnya dan
percaya pada akan hal itu. Seperti malam ini. Telepon dari seorang wanita yang
mengaku bernama Dilla, Istri Abi. Wanita itu bertanya apa Abi ada? Bisakah
menyampaikan pada Abi kalau Chacha mencari Papanya. Fay tentu menjelaskan
statusnya saat ini. dan, ia baru tahu kalau Abi dan Dilla belum berpisah secara
resmi. Itu membuatnya marah besar.
Abi
menjelaskan dan menjelaskan pada Fay. Ia bilang kalau masalahnya dan Dilla
sangat complicated. Abi pun berjanji,
akan menyelesaikan segala masalah yang tersisa antara dia dan Dilla. Malam itu,
Abi meminta izin untuk pulang ke surabaya. Dengan setengah hati dan bercampur
marah, Fay mengangguk, mengiyakan permintaan itu. meskipun ada kemungkinan pria
itu takkan pernah kembali kemari.
Dan
ketakutan Fay terjadi. Hari dan hari terus berganti tak pernah bisa membohongi
segala perasaan yang menjadi sumber ketakutan Fay. Abi tak pernah muncul dalam
hidupnya, meskipun itu hanya berbentuk teks pendek atau suara. Dan Fay, semakin
terbiasa dengan perasaan hampa yang menganga dalam hatinya. Hari sudah
berganti, bulan pun demikian. Tidak hanya sekali atau dua kali ia berusaha
menghubungi Abi. Tapi tidak membuahkan hasil. Sampai, suatu hari sang sahabat
yang sudah jadi teman berbagi ceritanya berkata, kalau Fay tidak perlu terlalu
terfokus pada kehilangan, cobalah melihat kebahagiaan apa yang bisa kau dapat
saat kau merasa kehilangan, terpuruk, terluka atau merasa sakit yang teramat.
Itu sebenarnya kebahagiaan. Karena tak ada bahagia yang abadi.
Dengan
bekal nasihat itu, sampai saat ini Fay masih bisa tersenyum lebar berusaha
mengabaikan hatinya yang sudah layu karena ditinggal Abi. Pekerjaan menjadi
salah satu tempat larinya, sampai larut malam ia masih berkutat dengan file ini dan file itu.
Seperti
malam ini. ia duduk dengan wajah serius memandang layar monitor notebook-nya. Sesekali mendongak kearah
laut yang diselimuti kegelapan dan hanya debur ombak yang terdengar berirama baginya.
Seharusnya,
Fay menghindari datang ke tempat ini. tempat kali pertama ia dan Abi bertemu.
tapi coba lihat, ia masih tetap datang. Apa yang ia harapkan? Abi akan berjalan
kearahnya dan tersenyum, kemudian duduk di sampingnya untuk membicarakan laut
yang ia lihat bersama beberapa saat yang lalu? Tidak. Itu hanya impian kosong
Fay.
“Tante
Fay.” Seru sebuah suara, seorang anak kecil. Fay mencari-cari si anak kecil
yang memanggil namanya. Siapa? Anak kenalannya? gadis yang mungkin berumur
tujuh tahun lebih berlari riang kearahnya. Tentu Fay bingung, karena tidak
pernah dia melihat anak ini. apalagi tanpa permisi anak kecil berkepang dua ini
memeluknya, seakan memeluk seseorang yang sudah akrab dengannya, “Akhirnya bisa
ketemu. Bener kata Papa, Tante pasti ada di sini.”
“Papa?”
Fay jelas kebingungan, meski ia tetap membalas pelukan gadis kecil itu.
kemudian saat gadis itu melepas pelukannya, ia bisa melihat wajahnya lebih
jelas. Dia punya mata yang sama seperti Abi. Senyumnya, alisnya, hidungnya.
“Chacha?” gumam Fay
ragu. Mana mungkin, kenapa anak ini bisa tau tentangnya dan siapa yang
membawanya ke tempat ini.
“Ah, tante tau aku?
Papa pernah cerita soal aku?” tanyanya masih dengan senyum Abi.
“Papa?”
“Papaku, Papa Abi.
Dia masih...”
“Chacha, jangan lari
nanti kalau jatuh, kamu bisa...” seorang pria berjalan cepat sambil menenteng
tas berwarna pink bergambar barbie. Pria itu berkacamata, pasti bukan Abi. Tapi
itu Abi. Abinya Fay.
Tanpa bersuara, Abi
mendekat ke meja tempat Fay dan Chacha berada. kemudian dia meletakkan tas
milik Chacha di meja sebelum ia duduk di depan Fay.
“Lama tidak melihat
kerutan ini,” ia tersenyum saat menyentuh lipatan diantara alis Fay.
“Aku
pikir kamu nggak akan kembali.” Kata Fay setengah berbisik. “seharusnya, kamu
nggak perlu kembali.”
“Iya,
seharusnya. Tapi, Chacha ingin bertemu denganmu. Aku juga. Aku.. rindu..” ia
menatap lurus wanita di depannya yang sudah meneteskan airmata. “Aku nggak
pantes bilang rindu sebenarnya, setelah aku pergi..”
“Mana istrimu?” tanya
Fay seraya menghapus air mata di pipinya. Ia berusaha mencari sosok wanita di
dekat mereka, “nggak ikut?”
“Dilla di Jakarta
ikut suaminya.” Jawab Abi singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Fay.
“Kamu sepertinya kelelahan.”
“Kamu pindah Jakarta?
Nggak di Surabaya lagi?” tanya Fay lagi tanpa menggubris ucapan Abi barusan.
“Aku tetap di
Surabaya sama Chacha,” jawab Abi lagi.
“Maksudnya?”
“Dilla sudah menikah
lagi. Kami sudah resmi berpisah, hak asuh Chacha ada padaku sekarang. Maaf, aku
tidak pernah bilang ke kamu. Aku takut, kamu nggak bisa menerima Chacha.
Makanya aku tetap berada di Surabaya, sampai aku siap ketemu kamu.” jelas Abi.
“Ta-tapi, kamu nggak
bisa dihubungi dan kamu juga nggak pernah menghubungiku. Aku pikir kita sudah
berakhir. karena kamu dan Dilla kembali bersama. Lima tahun bukan waktu yang
sebentar, Bi. Aku hampir mati di sini nunggu kamu.” suara Fay sedikit naik,
tapi ia berusaha mengontrol emosinya karena tau di sini ada Chacha yang nggak
seharusnya mendengar pertengkaran mereka.
“Aku
tau. Aku juga hampir mati karena menahan diri untuk tidak terbang kemari. Tapi
Chacha butuh perhatianku, Fay. Dia.. hidupku..” jelas pria itu.
“Aku?”
“Kamu? Kamu separuh
jiwaku. Gombal, ya? Fay, ikut denganku. Kita tinggal di surabaya. Aku ingin
kita tinggal bersama lagi. Chacha juga sangat merindukanmu. Dia ingin
jalan-jalan denganmu, dia bilang ingin belajar bikin cake darimu.” Pinta Abi sambil menggenggam tangan Fay. Tanpa mereka
duga, dua tangan mungil Chacha juga ikut menggenggam tangan Fay dan Abi. Gadis
kecil berumur tujuh tahun itu tersenyum ceria.
“Nanti Chacha panggil
tante ‘bunda’ aja, ya.” Bisik Fay sambil tersenyum jahil pada Chacha. Dan anak
kecil itu pun bersorak bahagia.
Kebahagiaan memang
bukan hal yang abadi. Tapi, itu bukan berarti kita menutup kesempatan pada
bahagia untuk masuk dalam kehidupan kita bukan? Meski sebelumnya ada luka,
benci, dusta dan rasa sakit. Fay akan menerima kebahagiaan-kebahagiaan yang
diberikan padanya. Salah satunya melalui kembalinya Abi dan putri kecilnya ini.
Blog post
ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness:
Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!